Makna Ayat Aqimu (1) dalam Alquran;20:14

 Ayat ini berasal dari Surah Taha ayat 14. Firman Allah kepada Nabi Musa a.s:

“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي 

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”

Berikut makna dari ayat ini, dari perspektif makna zahir, tafsir, dan isyarat hakikat:

1, Tauhid Uluhiyyah:

Allah menegaskan bahwa hanya Dia satu-satunya Tuhan yang layak disembah.

2. Tauhid Rububiyyah:

Allah memperkenalkan diri sebagai Tuhan yang memelihara dan mengatur segala sesuatu, menegaskan keesaan-Nya.

3. Tauhid Asma’ wa Sifat:

Penggunaan kata “اللَّهُ” mencakup seluruh nama dan sifat kesempurnaan-Nya.

4. Penolakan terhadap segala sesembahan selain Allah:

‎“لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” menafikan semua ilah batil.

5. Perintah langsung dari Allah:

‎“فَاعْبُدْنِي” adalah perintah ibadah khusus kepada Allah, menandakan kewajiban mutlak.

6. Makna ibadah sebagai penghambaan mutlak:

Ibadah bukan hanya ritual, tetapi penyerahan diri total kepada kehendak Allah.

7. Shalat sebagai pengingat Allah:

‎“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” menegaskan bahwa tujuan utama shalat adalah dzikrullah (mengingat Allah), bukan sekadar gerakan lahiriah.

8. Dzikir sebagai esensi ibadah:

Shalat adalah sarana utama untuk terus terhubung dengan Allah dalam kesadaran ruhani.

9. Penegasan identitas ilahi:

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” bukan sekadar pengenalan, tapi penyingkapan (tajalli) kehadiran Tuhan kepada Musa dalam keadaan langsung.

10. Makna batin tauhid:

Tiada yang wujud dengan hakiki kecuali Allah (wahdatul wujud), “لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” menafikan semua eksistensi yang berdiri sendiri selain-Nya.

11. Tauhid dalam ibadah dan wujud:

Perintah “فَاعْبُدْنِي” mengisyaratkan agar seluruh kehidupan diarahkan kepada Allah semata, secara lahir dan batin.

12. Shalat sebagai mi’raj ruhani:

‎“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” berarti shalat sebagai perjalanan ruhani untuk bertemu Allah melalui ingatan dan kehadiran hati.

13. Makna maqam dzikir:

Dzikir bukan hanya lisan, tapi hati yang selalu sadar akan kehadiran-Nya dalam segala keadaan.

14. Tajalli Ilahi kepada para wali dan nabi:

Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah menampakkan diri-Nya secara khusus kepada hamba pilihan-Nya (seperti Nabi Musa) dalam bentuk cahaya maknawi yang tak dapat ditolak.


Makna-makna ayat ini berdasarkan Al-Qur’an itu sendiri (dengan pendekatan tafsir bil-Qur’an, yakni menjelaskan ayat dengan ayat lain), maka berikut makna dari ayat:

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

(Surah Taha: 14)


1. Allah adalah satu-satunya Tuhan (Tauhid)

•Penegasan ini sering diulang:

‎“وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ” (Al-Baqarah: 163)


2. Tiada tuhan selain Dia (Nafyu dan Itsbat)

Ayat ini mengandung dua unsur tauhid: Penafian (لَا إِلَٰهَ) dan peneguhan (إِلَّا أَنَا)

Seperti dalam: “اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ” (Ali ’Imran: 2)


3. Kewajiban beribadah hanya kepada Allah

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ” (Adz-Dzariyat: 56)


4. Ibadah sebagai bentuk pengesaan Allah

“فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ” (Az-Zumar: 2)


5. Shalat sebagai perintah utama setelah tauhid

“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ وَآتِ الزَّكَاةَ” (Al-Baqarah: 43)


6. Shalat sebagai bentuk dzikir (mengingat Allah)

Ayat ini menegaskan:

‎“وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ” (Al-‘Ankabut: 45)


7. Makna dzikir sebagai peneguh jiwa

“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” (Ar-Ra’d: 28)


8. Dzikir dalam konteks waktu dan keadaan

“فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ” (An-Nisa: 103)


9. Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar

“إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ” (Al-‘Ankabut: 45)


10. Tujuan shalat adalah untuk mengingat Allah, bukan sekadar ritual

Bandingkan dengan:

‎“فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ” (Al-Ma’un: 4–5)


11. Allah menyampaikan wahyu-Nya langsung kepada Nabi Musa

Peristiwa ini juga disebut dalam:

‎“وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا” (An-Nisa: 164)


12. Tauhid sebagai dasar seluruh syariat para nabi

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ” 

(An-Nahl: 36)


13. Tauhid sebagai jalan keselamatan

وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ… فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ” 

(Al-Mu’minun: 117)


14. Penyebutan “Aku adalah Allah” adalah bentuk tajalli

Allah menampakkan diri kepada Musa dalam konteks wahyu dan pengenalan diri:

‎“فَلَمَّا جَاءَهَا نُودِيَ مِن شَاطِئِ الْوَادِي الْأَيْمَنِ…” (Al-Qasas: 30)


Makna Surah Ṭāhā ayat 14 menurut hadis-hadis Nabi saw dan Ahlul Bait a.s., yang menjelaskan isi dan ruh dari ayat tersebut:

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

(Taha: 14)

1. Allah memperkenalkan diri langsung kepada Musa a.s.

Dalam banyak riwayat, Allah menyapa Nabi Musa secara langsung tanpa perantara. 


Dalam hadis:

“كلَّمَ اللهُ موسى تكليمًا، لا بينه وبينه ترجمانٌ، فسمع كلامَه بأُذنه…”

(Al-Kāfi, 1/95)

Maknanya: Wahyu ini bersifat langsung (tanpa malaikat), menunjukkan kedekatan dan kedudukan tinggi Musa a.s.


2. Tauhid sebagai dasar seluruh agama

Dari Imam Ali a.s:

“أوّل الدين معرفته، وكمال معرفته التصديق به، وكمال التصديق به توحيده…”

(Nahjul Balaghah, Khutbah 1)

Makna ayat: “لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا” adalah puncak pengakuan tauhid, dasar segala ibadah.


3. Shalat adalah puncak dzikir

Dari Imam Ja‘far al-Sadiq a.s:

“لكلّ شيء وجه، ووجه دينكم الصلاة، فلا يشيننّ أحدكم وجه دينه…”

(Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 1/208)

Dan beliau bersabda:

“إذا قام العبد في الصلاة نزلت عليه الرحمة، وحفّت به الملائكة…”

Maknanya: “وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” mengisyaratkan bahwa dzikir yang paling utama adalah shalat.


4. Shalat mencegah kelalaian

Dari Rasulullah saw:

“من لم تنهه صلاته عن الفحشاء والمنكر لم يزدد من الله إلا بُعداً”

(Bihar al-Anwar, 82/198)

Menunjukkan bahwa shalat yang penuh dzikir sejati akan menjaga hati tetap sadar.


5. Dzikir dalam shalat adalah kehadiran hati

Imam al-Baqir a.s:

“لا يُقبل من الصلاة إلا ما أقبل العبد فيه بقلبه…”

(Al-Kāfi, 3/265)

Maknanya: Ayat ini mengajarkan bahwa shalat yang benar-benar li dzikrī adalah yang dilakukan dengan penuh kehadiran hati, bukan sekadar gerakan.


6. Allah menginginkan ibadah karena dzikir-Nya

Rasulullah saw bersabda:

“أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد، فأكثروا الدعاء…”

Maknanya: Tujuan utama ibadah adalah kedekatan dan ingatan terus-menerus kepada Allah.


7. Tauhid harus diikuti dengan pengabdian

Dari Imam al-Sadiq a.s:

“لا يكون العبد موحداً حتى يكون عمله لله خالصاً…”

Makna: Setelah tauhid, harus ada “فَاعْبُدْنِي” — penghambaan eksklusif hanya kepada Allah.


8. Allah tidak butuh ibadah, tapi ingin manusia sadar

Dalam hadits Qudsi:

“يا عبادي، ما خلقتكم لأربح عليكم، ولكن لتربحوا عليّ…”

(Bihar al-Anwar)

Maknanya: Perintah ibadah adalah untuk kebaikan manusia sendiri, agar mereka selalu mengingat Allah.


Makna Surah Ṭāhā ayat 14 menurut hadis Ahlul Bayt a.s., karena para Imam adalah ma’din al-‘ilm (tambang ilmu) dan mereka mewarisi hakikat Al-Qur’an, bukan hanya lafaz zahirnya.

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

(Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.)


Berikut makna-makna ayat ini menurut hadis Ahlul Bayt a.s.:


1. Tauhid sebagai fondasi segala ibadah

Imam Ali a.s. bersabda:

“أوّل الدين معرفته، وكمال معرفته التصديق به، وكمال التصديق به توحيده، وكمال توحيده الإخلاص له…”

(Nahjul Balaghah, Khutbah 1)

Makna ayat:

“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku” menegaskan bahwa seluruh agama dan ibadah harus berpijak pada ma’rifatullah yang murni.


2. Ibadah sejati adalah penyerahan total kepada Allah

Imam Ja‘far al-Shadiq a.s. berkata:

“العبودية جوهرة كنهها الربوبية”

“Kehambaan adalah permata yang inti batinnya adalah ketuhanan.”

(Al-Mishbāḥ, al-Tustarī)

Makna:

“Fa‘budnī” bukan hanya perintah syariat, tetapi perintah untuk larut dalam penghambaan batin yang menyingkap tajalli Rububiyyah dalam jiwa.


3. Shalat adalah mi‘raj ruhani

Imam Ali Zain al-‘Ābidīn a.s. berkata:

“الصلاة قربان كل تقيّ”

“Shalat adalah sarana untuk mendekat bagi setiap orang bertakwa.”

(Bihar al-Anwar, 82/236)

Makna ayat:”Wa aqimiṣ-ṣalāta li dhikrī” artinya shalat adalah mi‘raj maknawi menuju kehadiran Ilahi — bukan sekadar ritual lahiriah.


4. Dzikir bukan hanya lisan, tetapi kehadiran hati

Imam al-Bāqir a.s.:

“لا صلاة إلا بحضور قلب”

“Tidak ada shalat (yang diterima) kecuali dengan kehadiran hati.”

(Al-Kāfī, 3/270)

Makna:”li dzikrī” artinya: bangunlah shalat agar kamu sadar Aku hadir — dan itu butuh hati yang terjaga.


5. Dzikir yang paling utama adalah shalat

Dari Imam al-Sadiq a.s.:

“ما أعطي أحد شيئا أفضل من الصلاة على محمد وآله”

(Bihar al-Anwar, 91/47)

“أفضل الأعمال بعد المعرفة: الصلاة”(Al-Kāfī, 3/264)

Shalat adalah puncak dzikir, dan dzikir yang paling mulia adalah menyambung cahaya nubuwah dan wilayah dalam shalat.


6. Imam sebagai poros dzikir

Imam al-Sadiq a.s. dalam tafsir ayat ini:نحن والله الذكر في كتاب الله، ونحن أهل الذكر…”(Tafsir al-‘Ayyāshī, 2/239)

Makna dalam:”li dzikrī” juga bisa berarti: agar kamu ingat Aku melalui perantara dzikir-Ku, yaitu para Imam Ahlul Bayt a.s.


7. Kedudukan shalat dalam mencairkan hijab

Imam Ali a.s. bersabda:

‎إذا قمت إلى الصلاة فقم إليها كأنك تودع، ولا تحدث نفسك أنك تعود إليها…”

(Nahjul Balaghah, Hikmah 252)

Makna ayat: Shalat sebagai dzikir adalah cara untuk menembus hijab-hijab nafsaniyah agar ruh terhubung langsung dengan hadirat Allah.


8. Perintah ini bersifat universal

Imam al-Bāqir a.s.:

‎ما بعث الله نبيًا إلا بفرض الصلاة، والتوجه إلى قبلتنا…”(Wasā’il al-Shī‘ah, 3/5)

Makna: Perintah ini bukan hanya untuk Musa, tapi berlaku untuk seluruh umat sebagai dasar penghambaan.


Makna ayat Surah Ṭāhā ayat 14 menurut para mufasir, baik klasik maupun kontemporer, dari kalangan Ahlul Bayt dan lainnya — dengan fokus pada penafsiran ma’nawi, konteks dan struktur:

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

1. Allāmah Thabāṭabā’ī (Tafsir al-Mīzān)

Makna Tauhid: Kalimat ini adalah puncak tajalli dzātīyah — Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada Musa dengan kalimat tauhid yang bersifat eksistensial mutlak, bukan sekadar informasi.


Perintah Ibadah: Ibadah di sini bukan hanya ritual, tapi berarti pengakuan eksistensial atas Rububiyyah Allah yang diwujudkan dalam amal.

Lidzikrī”: menurut Allāmah, maknanya adalah agar kamu selalu sadar dan hadir bersama-Ku. Shalat adalah alat untuk menjaga kesadaran ruhani.


2. Al-Fakhr al-Rāzī (Tafsir al-Kabīr)


Ia membahas dari sudut ta’līl (hikmah): Mengapa shalat? Karena dzikir adalah obat lalai. Dan karena manusia cepat lupa, maka shalat harus didirikan berulang-ulang agar dzikir tetap hidup.

Ia juga menafsirkan “لِذِكْرِي” dengan dua makna:

a) Agar engkau mengingat-Ku.

b) Atau: dirikan shalat pada saat-saat yang Aku telah tetapkan untuk diingat.


3. Al-Ṭabarī (Tafsir Jāmi‘ al-Bayān)

Ia menukil banyak riwayat dari para tabi‘in yang mengatakan:

‎“لِذِكْرِي” maksudnya: ketika engkau mengingat Aku, maka dirikanlah shalat. Tapi juga menukil riwayat lain bahwa: shalat adalah bentuk dzikir yang paling afdhal.


4. Al-Qummi (Tafsir Qummi – Syiah)

Dalam riwayat dari Imam al-Sadiq a.s., dijelaskan bahwa:

‎“لِذِكْرِي” bermakna: “untuk mengingat wilayah Kami.”

Karena dzikir yang paling tinggi adalah dzikr al-Wilāyah — yaitu mengingat para Wali Allah.


5. Thabarsi (Tafsir Majma‘ al-Bayān)

Ia menggabungkan berbagai makna:

‎إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ

Allah menegaskan keberadaan-Nya sebagai satu-satunya yang berhak disembah.

‎فَاعْبُدْنِي”: artinya taat total, bukan hanya ibadah ritual.

‎أَقِمِ الصَّلَاةَ”: artinya menjaga shalat secara lahir dan batin.

‎لِذِكْرِي”: maksudnya, agar Aku tidak dilupakan, dan engkau tetap dalam wilayah-Ku.


6. Al-Kashānī (Tafsir al-Ṣāfī)

Ia menafsirkan secara ‘irfānī:

‎“فَاعْبُدْنِي” adalah jalan fana’ dalam ibadah.

‎“لِذِكْرِي” adalah maqam hudūr, yakni kehadiran hati dalam lautan dzikir — hingga hanya Allah yang tinggal dalam kesadaranmu.


7. Sayyid Quthub (Fi Ẓilāl al-Qur’ān)

Ia menekankan sisi tarbiyah:

Ayat ini mengajarkan bahwa awal perjalanan spiritual (seperti Musa) dimulai dari mengenal Allah dan membangun hubungan melalui shalat.


8. Ayatullah Nāsir Makārim Shirāzī (Tafsir Nemūneh)

Ia menjelaskan bahwa:

Tauhid → Ibadah → Shalat → Dzikir adalah urutan perjalanan hamba menuju Allah.

Dzikir bukan hanya untuk mengenang Allah, tapi juga agar ruh manusia tidak mati.


Kesimpulan dari Para Mufasir:

1. Tauhid eksistensial adalah fondasi: “Aku adalah Allah.”

2. Ibadah adalah jalan pengakuan terhadap tauhid.

3. Shalat adalah dzikir terbesar dan bentuk nyata ibadah.

4. Dzikir adalah kesadaran akan kehadiran Allah, bukan sekadar lafaz.

5. Para mufasir menekankan bahwa dzikir tertinggi adalah wilayah, karena Ahlul Bayt adalah manifestasi dzikrullah di bumi.


Makna Surah Ṭāhā ayat 14 menurut mufasir Syiah, khususnya para ulama besar seperti Allāmah Thabāṭabā’ī, Thabarsī, Fayd al-Kāshānī, dan lainnya. Kita akan fokus pada dimensi tafsir ma‘nawi, irfani, dan wilayah dalam kerangka Ahlul Bayt a.s.

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

1. Allāmah Thabāṭabā’ī (Tafsir al-Mīzān)

Ayat ini adalah tajallī dzātī (penampakan langsung dari Dzat Allah) — Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada Musa a.s., bukan hanya sebagai Tuhan, tapi sebagai satu-satunya realitas mutlak.

Kata “لِذِكْرِي” menurut Allāmah berarti:

“Shalat adalah sarana untuk menjaga kesadaran akan kehadiran Allah, agar hati tidak lalai dari-Nya.”

Penekanan beliau: shalat adalah sarana menjaga kesadaran tauhid dan hubungan langsung ruhani dengan Allah.


2. Shaykh Thabarsī (Tafsir Majma‘ al-Bayān)

Ia menyampaikan tiga kemungkinan tafsir “لِذِكْرِي”:

1, Agar engkau mengingat-Ku.

2, Shalat adalah bentuk dzikir-Ku padamu, karena Aku menyebutmu saat engkau menyebut-Ku.

3, Dirikan shalat pada waktu yang Aku tentukan untuk mengingat-Ku.

Ia juga mengutip riwayat dari Imam Sadiq a.s. bahwa:

“Dzikir tertinggi dalam shalat adalah menyebut wali-wali Allah setelah mengenal Allah dan Rasul-Nya.”


3. Fayd al-Kāshānī (Tafsir al-Ṣāfī)

Tafsir ini sangat kuat dalam dimensi irfani dan batin.

Kata “فَاعْبُدْنِي” menurutnya adalah perintah untuk mencair dalam ubūdiyyah, yakni:

Menafikan segala bentuk ego dan menjadikan diri cermin tajalli Ilahi.

“لِذِكْرِي” artinya bukan hanya “agar kamu mengingat-Ku”, tapi:

“Agar kamu tidak melihat apa pun selain Aku.”

Ia menyebut bahwa dzikir batin (dhikr khafī) adalah maqam para wali dan arifin — shalat hanyalah lahir dari dzikir batin yang terus-menerus.


4. Al-Qummī (Tafsir Qummī) – Tafsir Riwayat dari Imam Ahlul Bayt

Dalam penafsiran ayat ini, dinukil riwayat bahwa:

“لِذِكْرِي” = li wilāyatinā.

(“Untuk mengingat Kami, yaitu para Imam dari Ahlul Bayt.”)

Dzikir sejati menurut riwayat ini adalah mengingat Wali Allah yang menjadi cermin dzat Allah — karena mengenal mereka adalah bagian dari mengenal Allah.


5. ‘Allāmah al-Ṭabātabā’ī (dimensi lebih dalam)

Dalam bagian filsafat tafsirnya, ia mengatakan bahwa:

“Shalat adalah ekspresi dari keterikatan makhluk kepada Realitas Absolut.”

Maka:

“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ”: adalah tajalli keberadaan mutlak.

“فَاعْبُدْنِي”: adalah syarat syuhud dan makrifat.

“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ”: adalah jalan mengekspresikan keterhubungan itu.

“لِذِكْرِي”: adalah mawjudiyyah (eksistensi sadar), bukan sekadar ingat lisan.


Penafsiran Mufasir Syiah:


Bagian Ayat Tafsir Mufasir Syiah

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” Tajalli dzat Ilahi secara langsung, bukan perantara.

‎“لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا” Tauhid eksistensial – menafikan semua kecenderungan selain Allah.

‎“فَاعْبُدْنِي” Penghambaan batin, larut dalam kehendak-Nya, menuju fana’.

‎“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ” Shalat sebagai mi‘raj dan dzikir ruhani.

‎“لِذِكْرِي” Agar engkau senantiasa hadir bersama-Ku; atau agar engkau ingat wali-wali-Ku.


‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

menurut para mufasir Syiah, khususnya dari sudut hikmah, batin, wilayah, dan ‘irfan — sebagai lanjutan dari yang sebelumnya:


8. Tauhid Tasyri‘i dan Tauhid Takwīnī

Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai satu-satunya dzat yang patut disembah secara tasyri‘i (dalam syariat) dan takwīnī (dalam penciptaan).

Ayat ini bukan hanya penegasan tauhid secara akidah, tapi juga perintah untuk merealisasikan tauhid dalam struktur jiwa dan perilaku.


9. Dzikir sebagai Penyambung Wilayah

Dalam banyak riwayat Ahlul Bayt, “dzikir” bukan hanya lafaz, tapi identik dengan wilayah.

Imam al-Baqir a.s. berkata:

“Kami adalah dzikrullah yang disebut dalam Kitab-Nya.”

Maka, shalat sebagai dzikir berarti juga shalat yang terhubung dengan wilayah Imam Makshum.


10. Shalat Sebagai Pintu Ma‘rifat

Menurut al-Kāshānī, shalat bukan sekadar ibadah, tapi maqam penyingkapan (kashf) dan kehadiran batin.

Shalat mendidik ruhani hamba agar layak masuk ke dalam hadirat Allah dan melihat dengan cahaya Allah.


11. Makna “La Ilaha Illa Ana” secara Wujūdī

Para arif Syiah memahami kalimat ini sebagai penegasan bahwa selain Allah tidak memiliki eksistensi hakiki.

Maka, “fa‘budnī” adalah perintah untuk meleburkan wujud diri dalam wujud-Nya.


12. Shalat untuk Mengusir Ghaflah

Imam Ali a.s. berkata dalam Nahjul Balaghah:

“Allah menjadikan shalat sebagai pensuci dari kesombongan dan penghapus kelalaian.”

Maka, makna “li dzikrī” adalah: agar engkau tidak tenggelam dalam ghaflah (lupa) dan selalu dalam hudur (hadir).


13. Shalat Adalah Simbol Mi‘raj Ruhani

Dalam pandangan irfani Syiah, shalat adalah bentuk simbolik dari mi‘raj Nabi SAW.

Gerakan shalat menggambarkan perjalanan ruhani dari dunia jasmani menuju maqam liqā’ Allah.


14. Shalat sebagai Kesaksian Tauhid

Shalat, menurut para imam, adalah syahādah tauhid secara ruhani.

Dengan berdiri, rukuk, dan sujud — hamba bersaksi dalam tindakan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa seluruh wujud tunduk di hadapan-Nya.


Makna ayat Taha:14 menurut ahli makrifat dan hakikat, khususnya dalam tradisi Syiah Irfani dan batin, dengan pendekatan tasawuf hakiki dan suluk ilahi berdasarkan warisan Ahlul Bayt a.s.:

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

Makna Menurut Ahli Makrifat & Hakikat (Syiah)

‎1. “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” – Tajallī Dzātī

Ini adalah tajallī (penyingkapan langsung) Allah kepada Nabi Musa a.s., bukan melalui perantara makhluk.

Dalam maqam makrifat, ini disebut syuhūd dzāt — saat hamba menyaksikan keberadaan mutlak tanpa batas.

Menurut para arif seperti Sayyid Haidar Amuli:

“Ini adalah isyarat bahwa seorang salik, pada akhir perjalanan ruhani, akan ditampakkan hakikat Allah secara batin.”


‎2. “لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” – Penafian Wujud Selain Allah

Dalam pandangan wujūdiyyah (eksistensialis) Ahlul Bayt, la ilaha illa ana berarti:

“Tiada wujud hakiki selain-Ku.”

Semua selain Allah adalah fana’ (sirna) dan yang tinggal hanyalah Dia.

Imam Ja‘far al-Sadiq a.s. berkata:”Kefanaan adalah syarat kehadiran dalam keesaan.”


‎3. “فَاعْبُدْنِي” – Ibadah Hakiki adalah Fana’

Menurut arif Syiah, ‘ubudiyyah bukan sekadar ritual, tapi:

“Menafikan segala kehendak dan melebur dalam kehendak Allah.”

Ini maqam fana’ fi’l-‘ibādah, di mana hamba tidak melihat ibadahnya, hanya yang diibadahi.


‎4. “وَأَقِمِ الصَّلَاةَ” – Shalat adalah Mi‘rāj Ruhani

Shalat bukan sekadar gerakan, tapi perjalanan ruhani (suluk) dari kehijaban ke hudur (kehadiran).

Dalam irfan:

Qiyam = wujud, Rukuk = ruku’ ego, Sujud = fana’, Salam = kembali ke khalq setelah menyatu dengan al-Haqq.


‎5. “لِذِكْرِي” – Dzikir Sebagai Sirul-Wushul

Dzikir di sini bukan lafaz, tapi hudūr qalb (kehadiran hati) yang terus-menerus.

Menurut ahli hakikat, dzikir adalah:

“Sir (rahasia) antara Allah dan kekasih-Nya yang tak pernah terputus, bahkan dalam tidur dan diam.”


6. Seluruh Ayat Ini adalah Peta Suluk

Bagi ahli makrifat, ayat ini adalah khitāb langsung Allah kepada setiap salik yang telah bersih dari hijab:

Mengenal-Nya (إنني أنا الله)

Meniadakan selain-Nya (لا إله إلا أنا)

Melebur dalam ibadah (فاعبدني)

Mengalami mi‘raj dzikir dalam shalat (وأقم الصلاة لذكري)


7. Dalam Shalat, Wali Menjadi Cermin Tuhan

Dalam maqam tertinggi, wali atau imam maksum adalah mazhar dzikir, tempat dzikir Allah termanifestasi.

Dzikir dalam shalat yang hakiki adalah dzikir pada Wali Allah, yang tidak lain adalah manifestasi kehadiran-Nya di alam ini.


Imam Ali Zainal Abidin a.s.:

“Aku berdiri dalam shalat, lalu seakan tabir-tabir dunia tersingkap dan aku berdiri langsung di hadapan-Nya.”


Sayyid Haidar Amuli:

“Ayat ini adalah rangkuman suluk dari tauhid dzati, tauhid af‘ali, sampai fana’ dan baqa’.”


Mulla Sadra:

”‘Ibadah’ adalah wujud yang kembali pada asal-Nya melalui penyucian dari wujud majazi.”


Makna Hakikat

Allah memperkenalkan Diri

Tajalli Dzati kepada salik sejati

Tiada Tuhan Selain Aku Semua selain Allah adalah bayangan wujud

Sembahlah Aku Hancurkan ego, larut dalam Kehendak-Nya

Dirikan Shalat Mi‘raj menuju Hadirat Tuhan

Untuk Mengingat-Ku Dzikir sebagai kesadaran permanen dalam Wujud-Nya


Makna Ayat Menurut Ahli Hakikat Syiah


‎1. إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ – Tajalli Dzat di Ruang Ruh

Menurut ahli hakikat seperti Sayyid Haidar Amuli, ayat ini bukan hanya dialog kepada Nabi Musa a.s., tapi juga sebuah tajalli dzat (penyingkapan kehadiran Allah) kepada ruh manusia yang telah bersih.

“Allah memperkenalkan Diri-Nya dalam dimensi batin setiap ruh yang telah melewati maqam tazkiyah.”


‎2. لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا – Wujudullah Segala Sesuatu

Ahli hakikat Syiah meyakini bahwa la ilaha illa ana adalah penegasan bahwa tidak ada realitas sejati kecuali Allah.

Menurut Imam Ali a.s. (dalam Nahjul Balaghah):

“Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya, bersamanya, dan setelahnya.”

Artinya: hakikat dari tauhid bukan hanya menolak berhala lahiriah, tapi meniadakan penglihatan terhadap selain-Nya.


‎3. فَاعْبُدْنِي – Ibadah sebagai Fana’

Ibadah hakiki, dalam pandangan ahli hakikat Syiah, adalah:

“Melenyapkan kehendak dan ego dalam kehendak Ilahi.”


Imam Ja‘far al-Sadiq a.s. bersabda: “Al-‘ubudiyyah jawharah, kuntuhā al-rubūbiyyah.”

“Penghambaan adalah permata yang di dalamnya terkandung ketuhanan.”

Artinya: penghambaan total akan menampakkan kehadiran Ilahi dalam diri.


‎4. وَأَقِمِ الصَّلَاةَ – Shalat Sebagai Mi‘raj Batin


Ahli hakikat menafsirkan shalat sebagai perjalanan menuju perjumpaan.


Maqam dalam shalat menurut mereka:

Qiyām: berdiri di hadapan Allah, wujud sadar.

Rukū‘: tunduknya ego.

Sujūd: tenggelam dan melebur dalam asal mula.

Tasyahhud dan Salam: kembali ke khalayak dengan membawa Nur Ilahi.


Mereka menyebut shalat sebagai maqām liqā’, tempat ruh bertemu dengan hakikat Allah.


‎5. لِذِكْرِي – Dzikir sebagai Kesadaran Kehadiran

Dzikir menurut ahli hakikat bukan sekadar menyebut, tapi:

“Hidup dalam kesadaran bahwa tidak ada yang hadir kecuali Allah.”


Imam Ali Zainal Abidin a.s. dalam Munajat:

“Ilāhī… anartā qalbī bi nūr ma‘rifatika, hatta kharaja ‘anhu kullu syak wa wahm.”

“Tuhanku, Engkau sinari hatiku dengan cahaya makrifat-Mu hingga semua keraguan dan ilusi lenyap.”


6. Wilayah adalah Dzikir Sejati

Ahli hakikat Syiah memahami bahwa dzikir sejati tidak bisa dipisahkan dari wilayah Ahlul Bayt.

Dalam banyak riwayat:

“Naḥnu dzikrullāh al-akbar.”

“Kami (Ahlul Bayt) adalah dzikir Allah yang agung.”

Maka, mengingat Allah tanpa menyambung ke wilayah Imam adalah seperti ibadah tanpa arah dan cahaya.


7. Keseluruhan Ayat = Rangkaian Suluk Hakiki

Ahli hakikat Syiah melihat ayat ini sebagai rangkaian suluk ruhaniyah:

Bagian Ayat Maqam Suluk

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” Tajalli dzat kepada ruh

‎“لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” Tauhid eksistensial, wujud hanya Allah

‎“فَاعْبُدْنِي” Fana’ dalam ‘ubudiyyah

‎“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ” Mi‘raj ruhani dan maqam hudur

‎“لِذِكْرِي” Kehadiran Allah yang abadi dalam kalbu


Sayyid Haidar Amuli (murid ruhani Syekh Ishraq):

“Ayat ini adalah tali penghubung antara tauhid, wilayah, dan makrifat. Siapa yang membaca ayat ini dalam shalat dan menyaksikannya dalam kalbu, dia telah mencapai maqam wushul.”


Kisah dan cerita maknawi dari para arif, ahli hakikat, dan Ahlul Bayt a.s., yang mencerminkan kandungan ayat “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” dalam bentuk pengalaman, ilham, atau suluk ruhani:


1. Musa a.s. dan Tajallī di Bukit Thur

Nabi Musa a.s. naik ke bukit dalam keadaan mencari kebenaran. Di sana, tiba-tiba terdengar suara suci dari pohon yang menyala tapi tak terbakar, yang berkata:

“Sesungguhnya Aku adalah Allah.”

Momen ini adalah awal mi‘raj ruhani Nabi Musa, bukti bahwa **perjumpaan maknawi dengan Allah bukanlah ilusi, tapi pengalaman hakiki bagi ruh yang suci.


2. Imam Ali a.s. dalam Shalat yang Luar Biasa

Diriwayatkan saat kaki Imam Ali terkena anak panah, tidak bisa dicabut tanpa rasa sakit, tapi ketika beliau masuk shalat, panah itu dicabut tanpa terasa.

Ketika ditanya, beliau menjawab:

Dalam shalatku, aku tidak melihat selain Allah.”

Ini menggambarkan maqam “aqim as-shalah li dzikrī” – shalat sebagai kesadaran penuh terhadap kehadiran Ilahi.


3. Syekh Bahā’ī Menyamar Demi Ibadah

Syekh Bahā’ī (ulama dan arif Syiah) sering menyamar sebagai penggembala atau pekerja kasar, agar dapat bermunajat di tempat sepi tanpa dipuji manusia.

Dalam salah satu kisah, ia berkata kepada muridnya:

“Sesungguhnya yang dicari bukan bentuk shalat, tapi kehadiran dalam dzikir.”


4. Seorang Arif Tua dan Malam Qadar

Dalam mimpi, seorang arif tua melihat nur memancar dari langit dan terdengar suara:

“Wahai hamba-Ku, engkau mengingat-Ku dengan lesanmu, namun hatimu sibuk dengan dunia.”

Keesokan harinya, ia menyendiri dan shalat sepanjang malam hanya dengan dzikir kalbu, dan sejak itu ia menjadi ahli makrifat.


5. Imam Sajjad a.s. dan Sujud Panjang

Diriwayatkan Imam Zainul Abidin a.s. sujud begitu lama hingga tanah menjadi basah oleh air mata.

Ketika ditanya kenapa beliau menangis dalam shalat, beliau menjawab:”Bagaimana tidak menangis, sedang aku berdiri di hadapan Dzat yang berkata: ‘Akulah Allah, tiada Tuhan selain Aku.’”


6. Dzikir Dalam Tidur – Kisah Abu Hamzah

Abu Hamzah ats-Tsumali bermimpi melihat dirinya berdzikir dalam tidur.

Ketika bertanya pada Imam Sajjad a.s., beliau berkata:”Kalbu yang hidup tidak tidur dari dzikir meski badan tidur.”

Ini adalah makna dzikir yang hidup terus menerus — bukan lafaz, tapi ruh.


7. Al-Khidr a.s. dan Pelajaran Tentang Ibadah

Diceritakan bahwa al-Khidr a.s. berkata kepada seorang salik:

“Ibadah bukan tentang banyaknya rakaat, tapi tentang hadirnya hati dalam satu sujud.”

Ia mengajarkan bahwa fokus dzikir lebih utama daripada jumlah amal, sesuai makna “wa aqim ash-shalah li dzikrī.”


8. Suara yang Membakar Hati Seorang Pencari

Seorang salik mendengar ayat ini dibacakan dengan penuh penghayatan. Ia tersungkur menangis dan berkata:

“Selama ini aku menyembah-Nya dalam bentuk, tapi belum pernah mengenal Dia yang berkata: ‘Akulah Allah.’”

Sejak hari itu, ia meninggalkan semua pujian manusia dan hanya mencari dzikrullah sejati.


9. Shalat Sayyid al-Karbalā’ī di Bawah Pedang


Sayyid al-Karbala’i, seorang arif besar, tetap shalat khusyuk bahkan ketika kaki dan tangannya terbelenggu oleh musuh. Ia berkata:

Tak ada yang bisa menghentikanku dari berdiri di hadapan yang Maha Lembut yang berkata: ‘Fā‘budnī!’”

Ini contoh keteguhan ruhani dalam semua keadaan.


10. Munajat Seorang Penjaga Masjid

Seorang penjaga masjid tua sering terlihat shalat di waktu malam sambil berkata lirih: “Ya Allah, Engkau berkata ‘Aqim as-shalah li dzikrī’, maka aku mendirikan shalat agar aku tak lupa akan-Mu. Jangan tinggalkan aku sendirian dalam gelap malam.”

Malam itu ia wafat dalam sujud — wafat dalam keadaan dzikir. Ruhnya menjadi pelajaran hakikat bagi murid-murid pencari Tuhan.


Manfaat dari ayat “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” 

serta doa yang terkait untuk meraih manfaat-manfaat tersebut, sesuai dengan ajaran Islam, terutama dalam perspektif ahli hakikat Syiah.


1. Meneguhkan Tauhid dalam Hati

Manfaat: Ayat ini mengingatkan kita akan keesaan Allah yang mutlak. Membaca dan memahami makna dari ayat ini membantu meneguhkan tauhid dalam hati dan pikiran kita, menjauhkan kita dari kemusyrikan.

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dalam golongan ahli tauhid yang sejati yang tidak menyekutukan-Mu dengan apapun.”


2. Meningkatkan Kualitas Ibadah

Manfaat: 

Dengan pemahaman mendalam tentang makna “Fā‘budnī” (beribadahlah kepada-Ku), seseorang akan mampu meningkatkan kualitas ibadahnya, baik dalam shalat maupun dalam seluruh aspek kehidupan.

“Ya Allah, jadikanlah ibadahku murni karena wajah-Mu yang mulia, dan berikanlah aku kemampuan untuk melaksanakannya dengan sempurna.”


3. Meningkatkan Kedekatan dengan Allah

Manfaat: Ayat ini menuntun kita untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat dan dzikir yang terus-menerus. Ini membawa kedamaian batin dan ketenangan jiwa.

“Ya Allah, dekatkanlah aku kepada-Mu di setiap waktu, dan jadikanlah dzikirmu selalu ada dalam hatiku.”


4. Memperoleh Perlindungan dari Allah

Manfaat: Menyadari bahwa hanya Allah yang berhak disembah menguatkan keyakinan kita bahwa hanya kepada-Nya kita memohon perlindungan, dan segala hal yang terjadi adalah takdir-Nya.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setiap makhluk yang Engkau ciptakan, dan jadikanlah aku berada dalam perlindungan-Mu.”


5. Mendapatkan Keberkahan dalam Shalat

Manfaat: Shalat yang dilakukan dengan pemahaman bahwa shalat itu adalah “li dzikrī”, untuk mengingat Allah, akan memberi keberkahan yang lebih besar dalam hidup kita.

“Ya Allah, jadikanlah shalatku cahaya dalam hatiku dan berkah dalam kehidupanku.”


6. Membersihkan Hati dari Penyakit Jiwa

Manfaat: Ayat ini membantu kita membersihkan hati dari segala bentuk kesombongan, keraguan, dan penyakit hati lainnya, dengan fokus hanya kepada Allah.

“Ya Allah, sucikanlah hatiku dari keraguan dan kegelisahan, dan hiasilah aku dengan ketakwaan dan kejujuran.”


7. Meningkatkan Keikhlasan dalam Beramal

Manfaat: Dengan memahami bahwa hanya Allah yang patut disembah, kita akan berusaha agar semua amal kita dilakukan dengan niat yang ikhlas demi mendapatkan ridha-Nya.

“Ya Allah, jadikanlah setiap amalanku murni karena wajah-Mu yang mulia, dan janganlah Engkau memberikan sedikit pun kepada selain-Mu.”


8. Menjaga Kesabaran dalam Ujian

Manfaat: Dengan kesadaran bahwa hanya Allah yang berhak disembah, kita akan lebih mudah bersabar dalam menghadapi ujian, karena kita yakin segala sesuatu datang dari-Nya.

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang sabar, yang ridha dengan takdir dan keputusan-Mu.”


9. Menumbuhkan Rasa Syukur yang Mendalam

Manfaat: Menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya yang disembah akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya.

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang kufur.”


10. Membantu Mencapai Maqam Fana’ dan Baqa’


Manfaat: Pemahaman yang mendalam tentang “la ilaha illa ana” dapat membawa seorang salik pada maqam fana’ (melebur dalam Allah) dan baqa’ (tetap bersama-Nya). Ini adalah tingkatan spiritual tertinggi.

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang fana’ dalam Engkau, dan tetap ada dalam kekekalan-Mu.”

Kesimpulan:

Ayat ini mengandung kekuatan spiritual yang mendalam, dan setiap kata dalam ayat ini mengandung manfaat besar untuk jiwa yang ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui tauhid, ibadah, dan dzikir. Doa-doa yang disebutkan di atas membantu kita meraih makna hakiki dari ayat ini dalam kehidupan sehari-hari.


Munajat Para Pedzikir


Dengan asma Allah 

Yang Maha Pengasih 

Maha Penyayang

Ya Allah, limpahkanlah sholawat atas

Muhammad dan keluarga Muhammad


Tuhanku, sekiranya tiada kewajiban menerima perintah-Mu 

akan kunyatakan Engkau terlalu suci

untuk zikirku pada-Mu hanya dengan kadarku, bukan kadar-Mu. 


Tidaklah disampaikan pada kemampuanku,

sampai daku dijadikan tempat untuk menyucikan-Mu


Di antara nikmat-Mu yang besar bagi kami Kaualirkan

pada lidah kami zikir pada-Mu, 

Kau-izinkan kami berdoa pada-Mu. 

Menyucikan dan bertasbih pada-Mu


Tuhanku, Ilhamkan pada kami zikir pada-Mu,dalam kesendirian dan kebersamaan pada waktu siang

dan malam dalam keramaian dan kesunyian, dalam suka dan duka, sertai kami dengan zikir diam, bimbing kami melakukan amal suci dan pekerjaan yang

Kauridhoi. 


Balaslah kami dengan timbangan yang memadai. 


Tuhanku, kepada-Mu terpaut hati yang dipenuhi cinta untuk mengenal-Mu dihimpunkan semua akal yang berbeda. 


Tidak tenang kalbu kecuali

dengan mengingat-Mu. 


Tidak tentram jiwa kecuali

ketika memandang-Mu. 


Engkaulah Yang ditasbihkan

disemua tempat, yang disembah disetiap zaman. 


Yang Maujud diseluruh waktu, 

Yang Diseru oleh setiap

lidah. Yang Dibesarkan disetiap hati.


Daku mohon ampun pada-Mu dari setiap kelezatan tanpa mengingat-Mu dari setiap ketenangan tanpa

menyertai-Mu, dari setiap kebahagiaan tanpa mende-

kati-Mu, dari setiap kesibukan tanpa menaati-Mu.


Tuhanku, Engkau berfirman dan firman-Mu benar. 


Hai orang-orang yang berirman berzikirlah kepada Allah

dengan zikir yang banyak bartasbihlah kepada-Nya

pagi dan sore (Q.S. Al-Imran: 41) 


Engkau berfirman dan firman-Mu benar “Ingatlah Aku, niscaya Aku ingat padamu (Q.S. Al-Baqarah: 152). 


Engkau perintahkan kami mengingat Mu Engkau janjikan kami, Engkau akan mengingat kami sebagai penghormatan, pemuliaan, dan penyanjungan bagi kami. 


Inilah kami, sedang mengingat-Mu, seperti yang Engkau perintahkan, penuhi apa yang Kaujanjikan pada kami.


Wahai Yang Mengingat 

orang yang mengingat! 

Wahai Yang Paling Pengasih 

dari segala yang mengasihi.


Semoga bermanfaat!!!

Mohon Doa!!!

Comments

Popular posts from this blog

Amalan Akhir & Awal Tahun ; Amalan Bulan Muharram ; Ziarah Imam Husein as dan Syuhada Karbala

Doa-doa Cepat Terkabul (Sari’ Al-Ijaabah) Dari; Imam Ali as dan Imam Musa as

Doa Pendek untuk Semua Penyakit