Makna; Mengenal Nikmat Allah tapi Mengingkarinya
🌹🌺❤️Makna; Mengenal Nikmat Allah tapi Mengingkarinya❤️🌺🌹
(ثُمَّ يُنكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ
(Surah An-Nahl [16]: 83)
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir.”
Makna dari ayat ini menurut pendekatan tafsir lahir, batin, dan hakikat (makrifat)
1. Makna Lahir: Menolak Kenyataan Nikmat; Mereka tahu bahwa nikmat berasal dari Allah (seperti rezeki, kesehatan, hujan), tetapi mereka menyandarkannya pada sebab lain (cuaca, usaha sendiri, dll), sehingga mengingkari sumber sejatinya.
2. Makna Sosial: Menyangkal Kebaikan Pemberi Nikmat ; Mereka tidak berterima kasih kepada pemberi nikmat di dunia (seperti para nabi, orang tua, guru, dll) padahal lewat merekalah nikmat Allah datang. Ini bentuk pengingkaran nikmat secara sosial.
3. Makna Politik: Mengingkari Nikmat Wilayah; Imam Ali (as) berkata: “Akulah nikmat Allah yang mereka kenal lalu mereka ingkari.” (Tafsir al-Qummi)→ Artinya: Wilayah Ahlul Bait (‘a) adalah nikmat agung yang dikenali oleh hati manusia, tetapi banyak yang mengingkarinya secara sadar karena hawa nafsu atau dunia.
4. Makna Batin: Mengenal Tapi Tidak Mengakui ; Sebagian orang secara hati mengenali cahaya wilayah atau kebenaran (seperti kenal hak Imam, Nabi, atau al-Haq), tapi tetap mengingkarinya dengan lisan atau tindakan, karena hasad atau takabbur.
5. Makna Hakikat: Nikmat adalah Nur Ilahi; Nikmat terbesar adalah “Ma’rifat Allah”, dan orang yang mengenalnya melalui hati tetapi tidak menunaikan haknya dalam ibadah dan cinta, berarti mengingkari nikmat itu.
6. Makna Spiritual: Kehadiran Imam Zaman (‘aj) ; Imam Zaman adalah nikmat tersembunyi yang diakui dalam batin oleh banyak pencari hakikat, namun tetap diingkari dalam bentuk amal dan loyalitas.
7. Makna Amal: Tidak Bersyukur = Kufur ; Dalam praktiknya, mereka mengenal nikmat (kesehatan, rezeki, petunjuk), tetapi tidak mensyukuri dengan amal saleh, maka ini bentuk pengingkaran yang menyebabkan kekafiran praktis.
8. Makna Historis: Kaum Quraisy dan Nabi (saw) ; Quraisy mengakui Nabi Muhammad (saw) sebagai “al-Amīn” (yang terpercaya), namun mengingkarinya ketika beliau membawa risalah. Ini contoh nyata pengingkaran nikmat kenabian.
9. Makna Dzikir dan Iman: Tidak Melihat Allah dalam Nikmat ; Ahli makrifat mengatakan: Barang siapa melihat sebab-sebab (tangan, usaha, uang) tetapi tidak melihat Allah dalamnya, maka ia telah mengingkari dzat nikmat dan terjatuh dalam syirik halus.
10. Makna Kontemplatif: Nikmat Ujian yang Diabaikan ; Ujian, musibah, dan kesempitan juga adalah nikmat tersembunyi dari Allah untuk membersihkan jiwa. Orang yang tidak mengenali rahmat dalam ujian berarti telah mengingkari bentuk nikmat yang lebih tinggi.
Makna ayat ;
“Mereka mengenal nikmat Allah, lalu mereka mengingkarinya”
(QS. An-Nahl [16]: 83)
(وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ)
“Apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (An-Nahl: 53) 👉 Mereka tahu nikmat itu dari Allah, tetapi berkata: “Ini karena usahaku.” (Lihat juga Az-Zumar: 49)
2. Tidak bersyukur atas nikmat
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
(وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ)
“Jika kalian bersyukur, Aku tambahkan nikmat. Jika kalian kufur, azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
👉 Mengingkari nikmat = tidak bersyukur kepada Allah dan enggan taat.
3. Menggunakan nikmat untuk maksiat;
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا)
(ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا
“Mereka menjadikan bagian dari rezeki yang Allah beri sebagai persembahan untuk berhala.” (Al-An‘ām: 136)
4. Mengingkari nikmat risalah dan kenabian
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ)
(يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ
“Apakah belum cukup bagi mereka bahwa Kami menurunkan Al-Qur’an kepadamu (wahai Nabi)?” (Al-‘Ankabūt: 51)
5. Mengingkari nikmat hidayah setelah mengetahuinya
(وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ)
“Mereka mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya.” (An-Naml: 14)
6. Menolak nikmat karena sombong
﴿فَأَمَّا ثَمُودُ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَىٰ)
“Adapun kaum Tsamud, mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (Fushshilat: 17)
👉 Mereka tahu kebenaran sebagai nikmat, tapi memilih jalan sebaliknya.
7. Menyalahgunakan nikmat kekuasaan dan kekayaan
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ
(ٱلَّذِينَ طَغَوْا فِى ٱلْبِلَـٰدِ﴾
“Dan Fir‘aun yang memiliki pasak-pasak kekuasaan, yang melampaui batas di negeri-negeri.” (Al-Fajr: 10–11)
8. Mengubah nikmat menjadi alat kerusakan
(أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا)
“Tidakkah engkau lihat orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran.” (Ibrahim: 28)
9. Mengingkari nikmat wilayah (kepemimpinan Ilahi)
وَمَا نَقَمُوا۟ إِلَّآ أَنۡ أَغۡنَىٰهُمُ ٱللَّهُ)
(وَرَسُولُهُۥ مِن فَضۡلِهِ
“Mereka benci hanya karena Allah dan Rasul-Nya telah memberikan mereka karunia.” (At-Tawbah: 74)
👉 Dalam tafsir Ahlul Bait, banyak ayat menunjukkan bahwa wilayah adalah nikmat yang paling diingkari.
10. Menganggap nikmat sebagai beban: إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لِرَبِّهِۦ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.” (Al-‘Ādiyāt: 6)👉 “Kanūd” adalah orang yang selalu mengeluh meski diberi nikmat — tak pernah puas, selalu merasa kurang.
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka mengetahui nikmat Allah, lalu mereka mengingkarinya”
(QS. An-Nahl: 83) berdasarkan hadis-hadis Nabi (saw) dan Ahlul Bait (‘a) yang menjelaskan makna “nikmat” dan bentuk pengingkarannya:
1. Nikmat adalah Rasulullah (saw)
📗 Imam Ja‘far as-Sadiq (as):
“Kami adalah nikmat Allah yang Dia kenalkan kepada makhluk-Nya. Melalui kami mereka beroleh petunjuk dan dengan kami mereka beroleh hidayah. Lalu mereka mengingkarinya setelah mengenalnya.” 📚 (Tafsir al-Qummi, tafsir ayat ini)
2. Nikmat adalah Ahlul Bait (‘a)
📗 Imam Ali (as):”Saya adalah nikmat Allah yang mereka kenal, lalu mereka ingkar.”📚 (Tafsir al-Qummi, Tafsir al-‘Ayyashi)
3. Nikmat adalah Imam Ali (as) secara khusus
📚 (Kanz al-Fawaid, Tafsir as-Safi)
👉 Maka mengenal Imam Ali (as) adalah mengenal nikmat, dan menolaknya adalah mengingkari Allah secara batin.
4. Nikmat adalah al-Qur’an
📗 Rasulullah (saw):”Sesungguhnya Allah telah memberikan dua nikmat kepada kalian: al-Qur’an dan Ahlul Baitku.”📚 (Hadis Tsaqalayn – Shahih Muslim, Musnad Ahmad, dll.)
👉 Maka yang mengingkari kandungan Al-Qur’an padahal telah mengetahuinya, termasuk ke dalam ayat ini.
5. Nikmat adalah Hidayah
📗 Imam Ali Zainal Abidin (as):
“Tak ada nikmat lebih besar daripada hidayah. Dan tak ada azab lebih berat dari mengingkari hidayah setelah sampai kepadamu.”
📚 (Risalah al-Huquq, hikmah 34)
👉 Maka orang yang telah mengenal kebenaran lalu berpaling adalah pengingkar nikmat.
6. Nikmat adalah Imam Zaman (‘aj)
📗 Imam Ja‘far as-Sadiq (as):
“Orang-orang akan mengenal Qā’im kami, namun mereka akan mengingkari dan memeranginya. Inilah makna: ‘Mereka mengenal nikmat Allah lalu mengingkarinya.’”
📚 (Tafsir al-‘Ayyashi, Jilid 2, hlm. 260)
7. Nikmat adalah ‘Ilm dan Ma‘rifah
📗 Imam Musa al-Kazhim (as):
“Ilmu adalah nikmat. Maka jika kamu tidak mengamalkannya, kamu telah kufur atasnya.” 📚 (Tuhaf al-‘Uqul)
👉 Tidak mengamalkan ilmu yang sudah diketahui termasuk bentuk pengingkaran nikmat.
8. Nikmat adalah Rezeki & Kesehatan — tapi disalahgunakan
📗 Nabi (saw): “Dua nikmat yang sering dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang.” 📚 (Shahih Bukhari)
9. Nikmat adalah Syafaat
📗 Imam Ridha (as): “Wilayah kami adalah nikmat terbesar, dan syafaat kami adalah harapan umat. Tapi banyak yang mengenalnya lalu mengingkarinya karena kecintaan pada dunia.” 📚 (Uyun Akhbar al-Ridha, bab wilayah)
10. Nikmat adalah Akal — tapi diabaikan 📗 Imam Ja‘far as-Sadiq (as): “Akal adalah nikmat yang pertama kali Allah ciptakan. Siapa tidak menggunakannya untuk mengenal Tuhannya, maka ia telah mengingkari fitrah dan nikmat pertama.”📚 (al-Kafi, Kitab al-‘Aql wa al-Jahl)
Kesimpulan:
Menurut hadis-hadis Ahlul Bait (‘a), nikmat Allah dalam ayat tersebut memiliki makna ma’nawi dan batin seperti:
• Nabi Muhammad (saw)
• Ahlul Bait (‘a) dan wilayah mereka
• Hidayah
• Imam Zaman (‘aj)
• Ilmu, akal, Al-Qur’an
• Rezeki dan waktu
• Syafaat
• dan fitrah iman.
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka mengenal nikmat Allah, lalu mereka mengingkarinya”
(QS. An-Nahl: 83); berdasarkan hadis-hadis Ahlul Bait (‘alaihimussalam) dalam kitab-kitab tafsir dan riwayat Syiah:
📗 Imam Ja‘far as-Sadiq (as): “Nikmat Allah adalah Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib). Allah memperkenalkannya kepada seluruh makhluk, lalu kebanyakan dari mereka mengingkarinya.”📚 Tafsir al-‘Ayyashi, Jilid 2, hlm. 260
📗 Imam al-Baqir (as): “Kami Ahlul Bait adalah nikmat Allah yang dengannya manusia memperoleh keselamatan. Barang siapa yang mengenal kami, ia telah beriman; dan barang siapa mengingkari kami, ia telah kafir.” 📚 Tafsir al-Qummi, tafsir QS. An-Nahl: 83
👉 Mengenal Imam Zaman (‘aj) tapi tidak beriman atau tidak menolongnya adalah bentuk pengingkaran nikmat ilahiah.
4. Nikmat = Rasulullah (saw)
📗 Imam Ja‘far as-Sadiq (as): “Sesungguhnya nikmat Allah adalah Nabi-Nya yang diutus kepada mereka, dan mereka mengenalnya melalui kitab-kitab mereka, lalu mereka mengingkarinya.” 📚 Tafsir al-Qummi
5. Nikmat = Wilayah dan Imamah
📗 Imam al-Baqir (as): “Allah memperkenalkan wilayah kami kepada setiap makhluk sebelum mereka diciptakan. Maka siapa yang menerima, dia berada dalam barisan orang beriman, dan siapa yang menolak, dia di antara yang mengingkari nikmat Allah.” 📚 Tafsir al-Burhan, Jilid 3
6. Nikmat = Wilayah adalah Jalan ke Surga
7. Nikmat = Jalan Petunjuk dan Ma‘rifah Imam
8. Nikmat = Al-Qur’an dan Ahlul Bait (Tsaqalayn)
📗 Nabi Muhammad (saw): “Aku tinggalkan dua nikmat agung: Kitab Allah dan ‘itrahku Ahlul Bait. Keduanya takkan terpisah sampai kembali kepadaku di telaga.”📚 Hadis Tsaqalayn — diterima di Sunni & Syiah
9. Nikmat = Keberadaan Ahlul Bait sebagai Penyelamat
📚 Tafsir al-Safi, QS. An-Nahl: 83
10. Nikmat = Hujjah Allah di Setiap Zaman
📗 Imam Ja‘far as-Sadiq (as) tentang ayat ini: “Demi Allah! ‘Nikmat’ itu adalah al-Qā’im dari kami, Ahlul Bait. Allah akan mengutusnya di akhir zaman. Maka mereka mengenalnya dan mengingkarinya.” 📚 Tafsir al-‘Ayyashi, Jilid 2, hlm. 260
Kesimpulan: Hadis-hadis Ahlul Bait ‘alaihimussalam menjelaskan bahwa nikmat Allah dalam ayat ini bukan hanya nikmat lahir seperti rezeki atau kesehatan, tetapi lebih utama lagi adalah:
• Nabi Muhammad (saw)
• Imam Ali (as) dan Ahlul Bait secara umum
• Imam Zaman (aj)
• Wilayah dan Imamah
• Al-Qur’an
• Hujjah Allah pada setiap zaman
Mengenal mereka tapi menolak wilayah atau ajaran mereka adalah bentuk pengingkaran nikmat Allah.
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka tahu nikmat Allah, lalu mengingkarinya” (QS. An‑Nahl [16]: 83)menurut pendapat mufasir-mufasir klasik dan modern:
1. Tafsir Al-Muḥtashar (surahquran.com) Orang-orang musyrik mengetahui nikmat Allah—termasuk pemberian Rasul—namun kemudian mengingkarinya dengan tidak mensyukuri dan bahkan mendustakan Rasulullah ﷺ.
2. Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah)
Pengingkaran tidak semata karena ketidaktahuan, tapi karena meniru pendahulu yang ingkar dan enggan bersyukur; meski mereka sudah tahu bahwa nikmat itu dari Allah.
3. Tafsir al-Jalalayn
“Mereka mengakui (secara lisan) bahwa semua nikmat dari Allah, kemudian mereka mengingkarinya dengan menyekutukan-Nya; dan kebanyakan mereka adalah kafir”.
4. Tafsir Kemenag (Ringkas dan Lengkap)
Nabi diberi petunjuk jelas, namun mereka yang melihat terang itu malah mengingkari—baik dalam ucapan maupun tindakan. Mereka tahu bahwa nikmat berupa pakaian, tempat tinggal, dsb. berasal dari Allah, tapi sombong dan menganggapnya berasal dari alam atau usaha manusia semata.
5. Tafsir Ibnu Katsir (disingkat via Kemenag dan surahquran.com)
Ayat ini terkait dengan konteks nikmat Allah berupa kemudahan dan kesuburan alam—seperti laut yang dipermudah, gunung tegak, sungai, dll. Meski mereka menyaksikan, mereka tetap kufur nikmat dan menolak petunjuk Al-Qur’an .
• Nikmat di sini bukan sekadar rezeki materi, tetapi termasuk kenabian, petunjuk agama, dan tatanan alam yang mengundang syukur.
• Pengingkaran berarti penolakan melalui ucapan (kafir), tindakan (syirk), maupun mental (somong, menolak hidayah).
• Kebanyakan mereka adalah kafir menunjukkan bahwa pengingkaran itu tidak langka, melainkan umum di antara manusia.
6. Tafsir al-Maturidi (Abu Mansur al-Maturidi, Hanafiyah); Orang-orang musyrik mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah, seperti hujan, panen, dan keamanan. Tapi mereka tetap menyekutukan Allah dengan menjadikan berhala sebagai perantara atau pemberi rezeki.
📚 Ta’wilat Ahl al-Sunnah
7. Fakhruddin ar-Razi (Tafsir al-Kabir / Mafatih al-Ghayb); Ayat ini menyindir sikap batin yang kontradiktif: mereka secara akal sadar bahwa semua nikmat itu datang dari Allah, namun nafsu dan hawa duniawi membuat mereka mengingkarinya. 📚 Tafsir ar-Razi, QS An-Nahl: 83
8. Sayyid Ṭabaṭaba’i (Tafsir al-Mīzān) Nikmat yang dimaksud mencakup nikmat terbesar, yaitu petunjuk dan Imamah, yang mereka kenal tapi tolak. Pengingkaran itu adalah penyimpangan dari fitrah dan ilmu yang benar. 📚 al-Mīzān fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 12
9. Tafsir ash-Shabuni (Shafwat at-Tafasir) Orang kafir, ketika kesulitan, menyebut nama Allah dan mengaku butuh pada-Nya, tapi saat lapang, mereka mengingkarinya dan menyandarkan nikmat pada berhala atau kekuatan lain.
📚 Shafwat at-Tafasir
10. Tafsir al-Baghawi ; Mereka mengakui nikmat Allah di kala susah, namun saat mendapat nikmat, mereka menyandarkannya kepada berhala, berhala-berhala yang mereka buat sendiri. 📚 Tafsir al-Baghawi, QS An-Nahl: 83
Fokus Tafsiran
Al-Maturidi Mengakui nikmat, tapi syirik melalui perantara
Ar-Razi Ada kesadaran akal, tapi nafsu menolak secara batin
Sayyid Thabathaba’i Nikmat utama = Imamah, pengingkaran = melawan fitrah dan kebenaran
Ash-Shabuni ; Kufur saat lapang, tawakkal saat susah (kemunafikan spiritual)
Al-Baghawi Menyandarkan nikmat pada berhala atau kekuatan selain Allah
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka mengenal nikmat Allah, kemudian mengingkarinya” (QS. An-Nahl: 83) menurut para mufasir Syiah dari kalangan klasik dan kontemporer:
1. Tafsir al-Qummi (Ali bin Ibrahim al-Qummi, abad ke-3 H) ; Nikmat Allah adalah Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib as). Orang-orang mengenalnya (sebagai wali yang haq) lalu mengingkarinya.📚 Tafsir al-Qummi, tafsir QS. An-Nahl: 83
2. Tafsir al-‘Ayyashi (Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyashi, abad ke-3–4 H) ; Beberapa riwayat menyebut: Nikmat Allah adalah wilayah Ahlul Bait. Orang mengenalnya, namun karena iri, kedengkian, atau dunia, mereka menolaknya.📚 Tafsir al-‘Ayyashi, jilid 2, hlm. 260–261
3. Tafsir al-Burhān (Sayyid Hasyim al-Bahrani, abad ke-11 H) Mengumpulkan banyak riwayat dari para Imam yang menafsirkan “nikmat” ini sebagai wilayah dan Imamah, khususnya wilayah Imam Ali (as). 📚 Tafsir al-Burhān, QS. An-Nahl: 83
4. Tafsir al-Mīzān (Allamah Sayyid Ṭabaṭaba’i, abad ke-14 H) Dalam penjelasan yang mendalam, beliau mengatakan: Nikmat mencakup dua hal: 1. Nikmat zahir: rezeki, kesehatan, dll. 2. Nikmat batin: petunjuk Allah melalui wahyu dan Imamah. Mereka mengakuinya secara logika dan pengalaman, tapi menolaknya dalam sikap dan amal.📚 al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, jld:12
📚 Tafsir Nūr ats-Tsaqalayn, QS. An-Nahl: 83
6. Tafsir Kanz ad-Daqā’iq (Muhammad Misykin Qummi)
Beliau menegaskan bahwa:”Nikmat” paling besar adalah hujjah Allah di setiap zaman. Maka yang mengingkari Imam Zaman di zamannya, telah mengingkari nikmat terbesar Allah. 📚 Kanz ad-Daqā’iq wa Bahr al-Gharā’ib, QS. An-Nahl: 83
7. Tafsir al-Safi (Mulla Muhsin al-Faidh al-Kasyani, abad ke-11 H) Disimpulkan dari hadis-hadis bahwa nikmat ini adalah: Wilayah dan bimbingan ruhani dari para Imam Ahlul Bait. Dan bentuk pengingkarannya adalah berpaling dari jalan mereka meski mengakui mereka secara lahir. 📚 Tafsir al-Shafi, QS. An-Nahl: 83
8. Tafsir Bayan as-Sa‘ādah (Sultan ‘Ali Shustari) ; Ia memberikan tafsir isyari (maknawi): Nikmat = cahaya ma‘rifah dan hidayah Allah melalui para Imam. Manusia mengenal melalui hati dan fitrah, lalu mengingkarinya karena tertutup hijab duniawi. 📚 Bayan al-Sa‘ādah fi Maqāmāt al-‘Ibādah
9. Tafsir Tahlili al-Minhaj (Lajnah Ulama Syiah Kontemporer, Iran) Tafsir ini menyebutkan bahwa: Nikmat Allah mencakup Rasul (saw), Al-Qur’an, dan wilayah Ahlul Bait, dan kesyirikan, kedengkian, serta politik dunia menyebabkan manusia menolaknya. 📚 al-Minhāj fī Tafsīr al-Qur’ān, oleh Pusat Studi Ahlul Bait (Iran)
10. Tafsir Ma‘ānī al-Akhbār (Syaikh Shaduq); Dalam bentuk riwayat tafsir, disebut bahwa ayat ini juga mencakup: Orang-orang yang mengetahui Imam Zaman tapi menolaknya karena dunia atau taqlid buta. 📚 Ma‘ānī al-Akhbār, hadis tafsir QS. An-Nahl: 83
Mufasir Makna “Nikmat Allah” dalam ayat:
al-Qummi, al-‘Ayyashi; Imam Ali (as), wilayah Ahlul Bait
al-Mīzān (Ṭabaṭaba’i); Nikmat lahir & batin (terutama Imamah)
al-Burhān, Nūr ats-Tsaqalayn; Petunjuk melalui para Imam
al-Faidh al-Kasyani; Jalan ruhani & bimbingan ma‘nawi
Ma‘ānī al-Akhbār; Imam Zaman sebagai ujian zaman
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka mengenal nikmat Allah, lalu mengingkarinya” (QS. An-Nahl: 83)
menurut ahli makrifat dan hakikat,:
1. Nikmat adalah Ma‘rifat kepada Allah;!Menurut para arifin, nikmat terbesar bukanlah materi, tetapi pengenalan terhadap Allah (ma‘rifatullah). Orang yang sudah merasakan cahaya ma‘rifat lalu kembali mencintai dunia, itulah bentuk pengingkaran. 📚 Imam Khomeini, Misbah al-Hidayah; Mulla Sadra, Asfar
2. Nikmat adalah Wujud itu Sendiri Menurut filsafat dan irfan, seluruh wujud adalah manifestasi nikmat Allah. Menyangkal keberadaan wujud sebagai pancaran cahaya-Nya adalah bentuk pengingkaran terhadap hakikat. 📚 Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah
3. Nikmat adalah Waliyyullah (Hujjah Tuhan) Bagi arif Syiah, nikmat yang dimaksud adalah hujjah (Imam) yang merupakan jalan kepada Allah. Mengenal Imam tapi tidak mengikuti jalannya adalah pengingkaran batin yang paling dalam. 📚 Imam Ja‘far Shadiq (as) dalam tafsir batin; Sayyid Haidar Amuli, Jami‘ al-Asrar
4. Nikmat adalah Cahaya Ruhani Orang yang pernah tersentuh oleh cahaya dzikir dan fana, lalu kembali pada hawa nafsu dan ego—itu adalah pengingkaran terhadap nikmat cahaya. 📚 Abd al-Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil
5. Nikmat adalah Futuh (pembukaan batin) Setiap ilham dan futuhat dari Allah adalah nikmat. Bila hati telah dibuka lalu ditutup kembali karena kesombongan, itu adalah ingkar. 📚 Syekh Bahā’ī, Ar-Risālah al-Irfāniyyah
6. Nikmat adalah Kesadaran Tauhid; Kesadaran bahwa tiada yang ada selain Allah (lā maujūda illa Huwā) adalah nikmat puncak. Orang yang telah sampai lalu melihat selain Allah sebagai sumber, itu adalah kufur. 📚 Sayyid Haydar Amuli, Nasūs al-Hukm
📚 Imam Sajjad (as), Munajat al-Muhibbin
8. Nikmat adalah Sirr (rahasia Allah dalam hati) Hati yang pernah diisi rahasia Ilahiyah (sirr) lalu digunakan untuk riya, pamer, atau kebatilan adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah tertinggi.📚 Syaikh al-Akbar Ibn Arabi, Futuhat Makkiyah
9. Nikmat adalah Waktu Hadir (waqt al-hudhur); Setiap saat di mana hati hadir bersama Allah adalah nikmat luar biasa. Mengabaikan waktu-waktu itu untuk kesenangan dunia adalah kufrani nikmat.📚 Ruzbihan Baqli, Sarh-i Shathiyyat
10. Nikmat adalah Dzikir yang Hidup; Dzikir yang keluar dari hati yang fana dan hidup adalah nikmat hakiki. Bila dzikir hanya lisan, tanpa ruh, maka dzikir itu berubah dari nikmat menjadi beban. 📚 Allamah Thabathaba’i, Tafsir Irfani QS. Al-Nahl: 83
1 Ma‘rifatullah (Pengenalan kepada Allah)
2 Wujud itu sendiri (Cahaya Ada)
3 Imam dan Hujjah Tuhan
4 Cahaya ruhani, dzikir, dan fana
5 Ilham dan futuhat batin
6 Tauhid murni
7 Keintiman dan cinta Ilahi
8 Sirr Ilahi dalam hati
9 Waktu kehadiran batin (waqt hudhur)
10 Dzikir yang hidup dan menyala
“Mereka mengenal nikmat Allah, kemudian mengingkarinya” (QS. An-Nahl: 83) menurut para ahli hakikat dari kalangan Syiah, terutama dari mazhab ‘irfan dan hikmah ilahiyah (filsafat spiritual):
1. Nikmat Allah adalah Wilayah Imam Ali (as) sebagai Manifestasi Allah; Menurut para arif Syiah, nikmat tertinggi yang dikenal lalu diingkari adalah wilayah Amirul Mukminin (as), yang merupakan manifestasi tajalli (penampakan) asma dan sifat Ilahi di alam basyariah. 📚 Sayyid Haidar Amuli, dalam Jāmi‘ al-Asrār dan Tamhīd al-Qawā’id
Imam adalah cahaya Allah di bumi. Banyak orang mengenal sang Imam, tahu kebenaran dari batinnya, tapi mengingkari dengan lidah atau amal karena takut, dunia, atau taklid buta.📚 Syekh Ahmad al-Ahsā’ī, dalam Sharh al-Ziyārah al-Jāmi‘ah
3. Nikmat adalah Kesadaran Fitrah Tauhid (Fitrah al-Tauhid); Manusia memiliki fitrah ilahiyah yang mengenali Tuhan dan wilayah-Nya, tapi ia mengingkarinya saat dunia dan nafsu menguasai dirinya.
📚 Imam Khomeini, dalam Adabus Shalat dan Sirr al-Shalat
4. Nikmat adalah Cahaya Ma‘rifat Nikmat bukan hanya ilmu, tapi nur ma‘rifah yang menyinari kalbu.
Ketika hati disinari ma‘rifat, namun tak ditindaklanjuti dengan amal dan istiqamah, maka terjadi kufr nikmat batin. 📚 Allamah Thabathaba’i, dalam penafsiran irfani QS. an-Nahl
5. Nikmat adalah Sirr Imamah yang Ditolak oleh Hawa Nafsu; Banyak yang telah mendengar keutamaan dan hakikat imamah, bahkan merasakannya dalam qalb, namun hawa nafsu dan fanatisme mendorong mereka menolaknya.
📚 Mulla Sadra, dalam Asfār dan al-Mazāhir al-Ilāhiyyah
6. Nikmat adalah Kesempatan Hudhur Qalbi (Kehadiran Hati) Setiap kali seseorang diberi rasa hadirat Allah dalam salat, dzikir, atau tafakur, itu adalah nikmat. Ketika dia berpaling karena cinta dunia, ia telah mengingkari nikmat tersebut.
📚 Mulla Faidh al-Kāsyāni, al-Mahajjah al-Baydhā’
7. Nikmat adalah Ilham Ruhani yang Ditolak oleh Akal Rasional Saja ; Banyak yang menerima ilham ruhani dari Imam atau dari kalbu mukasyafah, tapi karena terlalu rasionalis atau skeptis, mereka menolak realitas batin itu. 📚 Syekh Rajab Ali Khayyat, kisah-kisah dalam Tarbiyat al-Nafs
8. Nikmat adalah Cinta Ilahi yang Disepelekan; Saat seseorang merasakan getaran cinta kepada Allah atau para wali-Nya, itu nikmat besar. Bila diabaikan, dianggap biasa, atau ditolak karena ego, maka itulah “mereka mengenal nikmat lalu mengingkarinya.” 📚 Imam Sajjad (as) dalam Munajat al-Muhibbin
9. Nikmat adalah Dzikir yang Menyala dari Batin; Para arif melihat bahwa dzikir yang hidup dari hati adalah anugerah. Bila seseorang berhenti berdzikir karena malas, riya, atau merasa cukup, ia telah kufur terhadap nikmat Ilahi. 📚 Imam Khomeini, Sirr al-Tawhid fi Maqam al-Tafrid
10. Nikmat adalah Wilayah sebagai Jalan Wushul; Para arif Syiah menganggap wilayah Ahlul Bait adalah jalan satu-satunya menuju Allah. Bila seseorang mengenal jalan ini lalu berbelok karena dunia, tahta, atau madzhab nenek moyang, maka dia tergolong orang yang diisyaratkan oleh ayat ini. 📚 Sayyid Ibn Thawus, dalam Iqbal al-A‘mal
1 Wilayah Imam Ali (as)
2 Hujjah Allah di tiap zaman
3 Fitrah Tauhid
4 Cahaya ma‘rifat
5 Sirr Imamah dalam batin
6 Hudhur qalbi (kehadiran hati)
7 Ilham ruhani yang diabaikan
8 Cinta Ilahi yang diremehkan
9 Dzikir yang menyala dari batin
10 Wilayah sebagai jalan wushul
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka mengenal nikmat Allah, lalu mengingkarinya” menurut ahli hakikat dan makrifat:
1. Ibnu Muljam Mengenal Imam Ali (as), Lalu Membunuhnya
Ia mengenal Imam sebagai “Afdhal al-Khalq” (manusia terbaik setelah Nabi), bahkan pernah salat di belakangnya dan mendengar hikmah langsung dari lisan beliau. Tapi karena nafsu duniawi, hasad dan bisikan syetan, ia mengingkari nikmat wilayah, dan membunuh cahaya Allah di bumi.
2. Kisah Bahlool dan Raja Kufah Raja bertanya kepada Bahlool, “Apa nikmat Allah yang paling besar?”Bahlool berkata, “Wilayah Ali bin Abi Thalib.” Raja berkata, “Aku tahu itu, tapi tidak mengikutinya.”Bahlool tertawa: “Engkau telah mengingkari nikmat setelah mengetahuinya.”
🕯 Makna: Mengetahui kebenaran dan tidak mengamalkannya adalah bentuk kufr nikmat.
3. Seorang Arif Syiah yang Menangis Saat Dzikir Hilang Diceritakan dari Sayyid Ali Qadhi Tabrizi (guru arif), bahwa suatu malam beliau menangis keras. Muridnya bertanya, “Kenapa Anda menangis?”Ia menjawab, “Aku kehilangan rasa manis dzikir selama beberapa saat. Aku takut telah mengingkari nikmat kehadiran-Nya.”
4. Imam Ja‘far Shadiq (as) tentang Orang yang Mengenal Kebenaran, tapi Diam; Imam berkata: “Orang yang mengenal hak dan diam karena takut pada manusia, dia termasuk orang yang mengingkari nikmat Allah.” Seorang murid bertanya: “Meski dia dalam bahaya?” Imam menjawab: “Apa artinya hidup tanpa hak?”
5. Kisah Malaikat Harut dan Marut Mereka mengenal nikmat ketaatan, mengenal hukum-hukum Allah, tapi ketika diuji dengan hawa nafsu, mereka mengingkarinya dan jatuh ke bumi.
6. Syekh Bahā’ī dan Murid yang Terlalu Bangga dengan Makrifat Seorang muridnya berkata, “Aku telah merasakan kelezatan tafakkur dan kehadiran.” Tapi dalam waktu singkat, ia jatuh dalam kebanggaan dan kehilangan kehadiran hati. Syekh berkata: “Kau telah kufur terhadap nikmat batin itu.”
🕯 Makna: Merasa memiliki makrifat adalah bentuk pengingkaran terhadap sumbernya—Allah.
🕯 Makna: Ilmu tanpa wilayah adalah hijab.
🕯 Makna: Makrifat tanpa ketaatan adalah pengingkaran sejati.
9. Orang Sufi yang Merasa Tinggi, Lalu Tersesat ; Dalam kitab-kitab irfani Syiah, disebutkan seorang sufi yang mencapai maqam kehadiran, tapi mulai mengklaim sebagai “ghaut” dan “kutub”, lalu tertutup hatinya. Ia dikatakan telah mengingkari nikmat ma‘rifat dengan menisbatkan kelebihan kepada dirinya.🕯 Makna: Ego ruhani adalah bentuk tertinggi dari kufr nikmat spiritual.
Ia mengenal Nabi sejak kecil, tahu kebenaran dari akhlaknya, namun karena kesombongan dan kedudukan sosial, ia menolak mengimaninya.
Makna utama dari semua kisah ini: Nikmat Allah paling besar bukanlah harta atau tubuh, tapi ma‘rifatullah, wilayah, dan kehadiran hati. Bila seseorang telah mengenalnya, lalu berpaling karena dunia, hawa nafsu, atau keangkuhan, maka ia telah termasuk dalam ayat ini.
(يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا)
“Mereka mengenal nikmat Allah, lalu mengingkarinya.” (QS. An-Nahl: 83)
Dari perspektif ahli makrifat dan hakikat Syiah, berikut 10 manfaat memahami ayat ini beserta doa-doa maknawi yang selaras dengan ruhnya:
1 Menjaga nikmat batin Dengan memahami ayat ini, kita lebih hati-hati menjaga rasa kehadiran Allah dan cinta kepada Ahlul Bait (as).
2 Syukur makrifat ; Bukan hanya syukur lisan, tapi syukur spiritual: mengamalkan hak wilayah dan nur Allah dalam kehidupan.
3 Menolak kufr khafi (kekufuran tersembunyi) Ayat ini membongkar tabir kufr yang samar, seperti merasa memiliki nikmat tanpa menyandarkannya kepada Allah.
4 Melatih istiqamah Nikmat yang dikenal tapi tidak dijaga akan hilang. Makna ini melatih kita untuk terus menjaga maqam ruhani.
5 Meningkatkan dzikir syukur Kita akan semakin sadar bahwa setiap rasa manis iman adalah nikmat yang wajib dijaga dengan dzikir.
6 Mengenal wilayah sebagai nikmat terbesar Ayat ini membantu kita membedakan antara nikmat zahir dan nikmat batin seperti wilayah dan ma‘rifat.
7 Menghindari jebakan ego spiritual Mereka yang pernah merasakan kelezatan dzikir atau wushul, bisa tergelincir dalam ‘aku’. Ayat ini mengingatkan.
8 Melatih adab terhadap nikmat Termasuk nikmat waktu, guru, dzikir, taufik salat malam, dan sebagainya. Semua itu bisa sirna jika diabaikan.
9 Menjadi penjaga nur wilayah Seperti para auliya’, yang hidupnya hanya untuk menjaga dan menyebarkan nikmat wilayah Ahlul Bait.
10 Membuka pintu syukur yang hakiki Hakikat syukur adalah mengenal sumber nikmat dan kembali kepada-Nya dalam amal, bukan sekadar lisan.
🟩 Doa-doa yang Selaras dengan Ayat Ini (dari Riwayat dan Ahli Makrifat):
اللَّهُمَّ لا تَجْعَلْنِي مِنَ الْمُنكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ بَعْدَ مَعْرِفَتِهَا، وَلا مِنَ التَّارِكِينَ لِوِلَايَةِ أَوْلِيَائِكَ بَعْدَ تَذَوُّقِ نُورِهَا.
“Ya Allah, jangan jadikan aku termasuk orang yang mengingkari nikmat-Mu setelah mengenalnya, dan jangan Engkau keluarkan aku dari wilayah para wali-Mu setelah aku merasakan cahayanya.”
وَاجْعَلْنِي لِسَانًا لِشُكْرِكَ،
وَقَلْبًا لِحُبِّكَ، وَبَدَنًا لِطَاعَتِكَ.
“Jadikanlah aku lisan bagi syukur-Mu, hati yang mencintai-Mu, dan jasad yang taat kepada-Mu.”
🕯 Makna: Syukur adalah menjaga nikmat dengan seluruh anggota dan rasa.
اللَّهُمَّ لا تَسْلُبْنِي حَلاوَةَ ذِكْرِكَ،
وَلا تُطْفِئْ نُورَ قَلْبِي بِغَفْلَةٍ عَنْكَ.
“Ya Allah, jangan cabut manisnya dzikir dari lisanku, dan jangan padamkan cahaya hatiku dengan kelalaian dari-Mu.”
اللَّهُمَّ أَرِنِي حَقِيقَةَ نِعْمَتِكَ،
وَلا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي فَأَكْفُرَ مَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ.
“Ya Allah, tampakkan padaku hakikat nikmat-Mu, dan jangan serahkan aku pada diriku hingga kufur terhadap anugerah-Mu.”
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ الْوِلَايَةِ،
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهٰذَا
وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ.
“Segala puji bagi Allah atas nikmat wilayah. Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami pada jalan ini, dan kami takkan dapat menunjuki diri sendiri kecuali karena-Nya.”
اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى حُبِّ أَوْلِيَائِكَ، وَاجْعَلْ وِلَايَتَهُمْ نُورًا فِي قَلْبِي،
وَلا تَجْعَلْنِي مِمَّنْ عَرَفَهُمْ ثُمَّ أَنْكَرَهُمْ.
“Ya Allah, teguhkan hatiku dalam mencintai para wali-Mu. Jadikan wilayah mereka cahaya dalam dadaku. Jangan jadikan aku termasuk yang mengenal mereka lalu mengingkari mereka.”
7. Doa untuk Menjaga Nikmat Dzikir dan Kehadiran
يَا مَنْ أَذَاقَنِي لَذَّةَ الذِّكْرِ، لَا تَحْرِمْنِي
مِنْ حُضُورِكَ، وَلَا تَجْعَلْنِي مِمَّنْ أَغْفَلَ قَلْبُهُ بَعْدَ مَا أَشْرَقْتَهُ.
“Wahai yang telah membuatku mencicipi kelezatan dzikir, jangan Engkau haramkan kehadiran-Mu padaku, dan jangan biarkan hatiku lalai setelah Engkau sinari.”
8. Doa Imam Sajjad (as): Permohonan Syukur Sejati
(dari Sahifah Sajjadiyyah, Doa no. 35)
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي أَخْشَاكَ كَأَنِّي أَرَاكَ، وَأَسْعِدْنِي بِتَقْوَاكَ، وَلا تُشْقِنِي بِمَعْصِيَتِكَ.
“Ya Allah, jadikan aku takut kepada-Mu seakan-akan aku melihat-Mu. Bahagiakan aku dengan takwa kepada-Mu. Jangan sengsarakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”
🕯 Makna: Jika sudah merasa dekat dengan Allah tapi kemudian berbuat maksiat, itu tanda mengingkari nikmat kehadiran.
9. Doa Arifin: Menyadari Akar Nikmat
يَا مَنْ كُلُّ نِعْمَةٍ مِنْهُ، وَكُلُّ خَيْرٍ عَطِيَّةٌ مِنْهُ، لَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي فَأَنْسَى الْمُنْعِمَ.
“Wahai Dzat yang setiap nikmat berasal dari-Nya, dan setiap kebaikan adalah anugerah dari-Nya, jangan serahkan aku kepada diriku sendiri hingga aku lupa kepada Pemberi Nikmat.”
10. Doa Penjaga Nikmat Ma‘rifat dan Taufiq
اللَّهُمَّ احْفَظْ عَلَيَّ مَا أَلْهَمْتَنِي،
وَزِدْنِي فَهْمًا وَنُورًا،
وَلَا تَسْلُبْنِي نِعْمَةَ الْفَهْمِ وَالْتَوْفِيقِ.
“Ya Allah, peliharalah untukku apa yang telah Engkau ilhamkan. Tambahkanlah pemahaman dan cahaya padaku. Jangan cabut nikmat pemahaman dan taufik dari diriku.”
🌹Doa Imam Sajjad as doa ke-37 ; ketika Mengakui Kekurangan dalam bersyukur🌹
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ،
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ،
(۱) اللَّهُمَّ إِنَّ أَحَداً لَا يَبْلُغُ مِنْ شُكْرِكَ غَايَةً إِلَّا حَصَلَ عَلَيْهِ مِنْ إِحْسَانِكَ مَا يُلْزِمُهُ شُكْراً.
(۲) وَ لَا يَبْلُغُ مَبْلَغاً مِنْ طَاعَتِكَ وَ إِنِ اجْتَهَدَ إِلَّا كَانَ مُقَصِّراً دُونَ اسْتِحْقَاقِكَ بِفَضْلِكَ
(۳) فَأَشْكَرُ عِبَادِكَ عَاجِزٌ عَنْ شُكْرِكَ، وَ أَعْبَدُهُمْ مُقَصِّرٌ عَنْ طَاعَتِكَ
(۴) لَا يَجِبُ لِأَحَدٍ أَنْ تَغْفِرَ لَهُ بِاسْتِحْقَاقِهِ، وَ لَا أَنْ تَرْضَى عَنْهُ بِاسْتِيجَابِهِ
(۵) فَمَنْ غَفَرْتَ لَهُ فَبِطَوْلِكَ، وَ مَنْ رَضِيتَ عَنْهُ فَبِفَضْلِكَ
(۶) تَشْكُرُ يَسِيرَ مَا شَكَرْتَهُ، وَ تُثِيبُ عَلَى قَلِيلِ مَا تُطَاعُ فِيهِ حَتَّى كَأَنَّ شُكْرَ عِبَادِكَ الَّذِي أَوْجَبْتَ عَلَيْهِ ثَوَابَهُمْ وَ أَعْظَمْتَ عَنْهُ جَزَاءَهُمْ أَمْرٌ مَلَكُوا اسْتِطَاعَةَ الِامْتِنَاعِ مِنْهُ دُونَكَ فَكَافَيْتَهُمْ، أَوْ لَمْ يَكُنْ سَبَبُهُ بِيَدِكَ فَجَازَيْتَهُمْ!
(۷) بَلْ مَلَكْتَ- يَا إِلَهِي- أَمْرَهُمْ قَبْلَ أَنْ يَمْلِكُوا عِبَادَتَكَ، وَ أَعْدَدْتَ ثَوَابَهُمْ قَبْلَ أَنْ يُفِيضُوا فِي طَاعَتِكَ، وَ ذَلِكَ أَنَّ سُنَّتَكَ الْإِفْضَالُ، وَ عَادَتَكَ الْإِحْسَانُ، وَ سَبِيلَكَ الْعَفْوُ
(۸) فَكُلُّ الْبَرِيَّةِ مُعْتَرِفَةٌ بِأَنَّكَ غَيْرُ ظَالِمٍ لِمَنْ عَاقَبْتَ، وَ شَاهِدَةٌ بِأَنَّكَ مُتَفَضَّلٌ عَلَى مَنْ عَافَيْتَ، وَ كُلٌّ مُقِرٌّ عَلَى نَفْسِهِ بِالتَّقْصِيرِ عَمَّا اسْتَوْجَبْتَ
(۹) فَلَوْ لَا أَنَّ الشَّيْطَانَ يَخْتَدِعُهُمْ عَنْ طَاعَتِكَ مَا عَصَاكَ عَاصٍ، وَ لَوْ لَا أَنَّهُ صَوَّرَ لَهُمُ الْبَاطِلَ فِي مِثَالِ الْحَقِّ مَا ضَلَّ عَنْ طَرِيقِكَ ضَالٌّ
(۱۰) فَسُبْحَانَكَ! مَا أَبْيَنَ كَرَمَكَ فِي مُعَامَلَةِ مَنْ أَطَاعَكَ أَوْ عَصَاكَ: تَشْكُرُ لِلْمُطِيعِ مَا أَنْتَ تَوَلَّيْتَهُ لَهُ، وَ تُمْلِي لِلْعَاصِي فِيمَا تَمْلِكُ مُعَاجَلَتَهُ فِيهِ.
(۱۱) أَعْطَيْتَ كُلًّا مِنْهُمَا مَا لَمْ يَجِبْ لَهُ، وَ تَفَضَّلْتَ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمَا بِمَا يَقْصُرُ عَمَلُهُ عَنْهُ.
(۱۲) وَ لَوْ كَافَأْتَ الْمُطِيعَ عَلَى مَا أَنْتَ تَوَلَّيْتَهُ لَأَوْشَكَ أَنْ يَفْقِدَ ثَوَابَكَ، وَ أَنْ تَزُولَ عَنْهُ نِعْمَتُكَ، وَ لَكِنَّكَ بِكَرَمِكَ جَازَيْتَهُ عَلَى الْمُدَّةِ الْقَصِيرَةِ الْفَانِيَةِ بِالْمُدَّةِ الطَّوِيلَةِ الْخَالِدَةِ، وَ عَلَى الْغَايَةِ الْقَرِيبَةِ الزَّائِلَةِ بِالْغَايَةِ الْمَدِيدَةِ الْبَاقِيَةِ.
(۱۳) ثُمَّ لَمْ تَسُمْهُ الْقِصَاصَ فِيمَا أَكَلَ مِنْ رِزْقِكَ الَّذِي يَقْوَى بِهِ عَلَى طَاعَتِكَ، وَ لَمْ تَحْمِلْهُ عَلَى الْمُنَاقَشَاتِ فِي الْآلَاتِ الَّتِي تَسَبَّبَ بِاسْتِعْمَالِهَا إِلَى مَغْفِرَتِكَ، وَ لَوْ فَعَلْتَ ذَلِكَ بِهِ لَذَهَبَ بِجَمِيعِ مَا كَدَحَ لَهُ وَ جُمْلَةِ مَا سَعَى فِيهِ جَزَاءً لِلصُّغْرَى مِنْ أَيَادِيكَ وَ مِنَنِكَ، وَ لَبَقِيَ رَهِيناً بَيْنَ يَدَيْكَ بِسَائِرِ نِعَمِكَ، فَمَتَى كَانَ يَسْتَحِقُّ شَيْئاً مِنْ ثَوَابِكَ لَا! مَتَى!
(۱۴) هَذَا- يَا إِلَهِي- حَالُ مَنْ أَطَاعَكَ، وَ سَبِيلُ مَنْ تَعَبَّدَ لَكَ، فَأَمَّا الْعَاصِي أَمْرَكَ وَ الْمُوَاقِعُ نَهْيَكَ فَلَمْ تُعَاجِلْهُ بِنَقِمَتِكَ لِكَيْ يَسْتَبْدِلَ بِحَالِهِ فِي مَعْصِيَتِكَ حَالَ الْإِنَابَةِ إِلَى طَاعَتِكَ، وَ لَقَدْ كَانَ يَسْتَحِقُّ فِي أَوَّلِ مَا هَمَّ بِعِصْيَانِكَ كُلَّ مَا أَعْدَدْتَ لِجَمِيعِ خَلْقِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ.
(۱۵) فَجَمِيعُ مَا أَخَّرْتَ عَنْهُ مِنَ الْعَذَابِ وَ أَبْطَأْتَ بِهِ عَلَيْهِ مِنْ سَطَوَاتِ النَّقِمَةِ وَ الْعِقَابِ تَرْكٌ مِنْ حَقِّكَ، وَ رِضًى بِدُونِ وَاجِبِكَ
(۱۶) فَمَنْ أَكْرَمُ- يَا إِلَهِي- مِنْكَ، وَ مَنْ أَشْقَى مِمَّنْ هَلَكَ عَلَيْكَ لَا! مَنْ فَتَبَارَكْتَ أَنْ تُوصَفَ إِلَّا بِالْإِحْسَانِ، وَ كَرُمْتَ أَنْ يُخَافَ مِنْكَ إِلَّا الْعَدْلُ، لَا يُخْشَى جَوْرُكَ عَلَى مَنْ عَصَاكَ، وَ لَا يُخَافُ إِغْفَالُكَ ثَوَابَ مَنْ أَرْضَاكَ، فَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ، وَ هَبْ لِي أَمَلِي، وَ زِدْنِي مِنْ هُدَاكَ مَا أَصِلُ بِهِ إِلَى التَّوْفِيقِ فِي عَمَلِي، إِنَّكَ مَنَّانٌ كَرِيمٌ.
Doa Imam Ali Zainal Abidin AsSajjad as ; ketika mengakui kekurangan dalam menunaikan syukur:
1. Ya Allah, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat mencapai batas akhir dalam bersyukur kepada-Mu, kecuali ia akan memperoleh dari kebaikan-Mu sesuatu yang mengharuskannya bersyukur kembali.
2. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mencapai tingkat ketaatan kepada-Mu, sekalipun ia bersungguh-sungguh, melainkan ia tetap dianggap kurang dibandingkan dengan kelayakan-Mu karena anugerah-Mu.
3. Maka hamba-Mu yang paling bersyukur pun tetap lemah dalam mensyukuri-Mu, dan yang paling taat tetap kurang dalam ketaatannya kepada-Mu.
4. Tidak ada seorang pun yang berhak mendapatkan ampunan-Mu berdasarkan haknya, dan tidak pula seseorang layak memperoleh keridhaan-Mu berdasarkan usahanya.
5. Maka siapa pun yang Engkau ampuni, itu adalah karena kemurahan-Mu, dan siapa pun yang Engkau ridhai, itu adalah karena karunia-Mu.
6. Engkau mensyukuri sedikit dari syukur mereka, dan memberi pahala atas ketaatan yang sedikit, hingga seakan-akan syukur hamba-hamba-Mu yang Engkau wajibkan pahalanya dan Engkau agungkan balasannya adalah sesuatu yang mereka miliki sendiri untuk tidak melakukannya tanpa kehendak-Mu, lalu Engkau membalasnya; atau seakan-akan penyebabnya bukan di tangan-Mu, lalu Engkau memberi mereka ganjaran!
7. Bahkan Engkaulah, wahai Tuhanku, yang menguasai urusan mereka sebelum mereka memiliki kemampuan untuk beribadah kepada-Mu, dan Engkau telah menyiapkan pahala mereka sebelum mereka mulai melakukan ketaatan kepada-Mu. Sebab, sunnah-Mu adalah memberi anugerah, kebiasaan-Mu adalah berbuat baik, dan jalan-Mu adalah memberi ampunan.
8. Maka seluruh makhluk mengakui bahwa Engkau tidak zalim kepada siapa pun yang Engkau hukum, dan mereka bersaksi bahwa Engkau Maha Pemberi anugerah kepada siapa pun yang Engkau beri keselamatan. Setiap orang mengakui dirinya kurang dalam menunaikan kewajiban terhadap-Mu.
9. Jika bukan karena setan yang menipu mereka dari ketaatan kepada-Mu, niscaya tidak akan ada seorang pun yang durhaka kepada-Mu. Dan jika bukan karena ia menampilkan kebatilan dalam bentuk kebenaran, niscaya tidak akan ada seorang pun yang tersesat dari jalan-Mu.
10. Maka Maha Suci Engkau! Betapa jelas kemurahan-Mu dalam memperlakukan siapa pun yang taat atau yang durhaka kepada-Mu: Engkau mensyukuri ketaatan orang yang Engkau sendiri telah memberikan kemampuan kepadanya, dan Engkau memberi kesempatan kepada pelaku maksiat padahal Engkau mampu segera menghukumnya.
11. Engkau memberi kepada masing-masing dari mereka sesuatu yang tidak wajib baginya, dan Engkau melimpahkan karunia kepada mereka dengan sesuatu yang amal mereka tidak mampu mencapainya.
12. Seandainya Engkau membalas orang yang taat atas perbuatan yang sebenarnya Engkau sendiri yang memudahkannya, niscaya ia akan kehilangan pahala-Mu dan nikmat-Mu akan terangkat darinya. Namun karena kemurahan-Mu, Engkau membalasnya atas waktu yang singkat dan fana dengan waktu yang panjang dan kekal; atas tujuan yang dekat dan sementara dengan tujuan yang luas dan abadi.
13. Kemudian Engkau tidak membebaninya untuk membayar atas rezeki yang ia makan, yang dengannya ia memperoleh kekuatan untuk taat kepada-Mu. Engkau juga tidak menuntutnya secara rinci atas segala alat yang ia gunakan dalam menuju ampunan-Mu. Jika Engkau lakukan itu, niscaya akan lenyap semua usahanya dan hilang seluruh jerih payahnya hanya untuk membalas sekecil-kecilnya nikmat dan anugerah-Mu. Ia akan tetap tertawan dalam genggaman-Mu dengan segala nikmat-Mu. Maka kapan ia akan berhak mendapatkan pahala-Mu? Tidak mungkin!
14. Inilah, wahai Tuhanku, keadaan orang yang taat kepada-Mu dan jalan yang ditempuh oleh mereka yang mengabdi kepada-Mu. Adapun orang yang durhaka terhadap perintah-Mu dan melanggar larangan-Mu, Engkau tidak segera menghukumnya agar ia dapat mengubah keadaannya dari maksiat menjadi taubat dan kembali kepada ketaatan. Padahal, ia sebenarnya berhak mendapatkan semua hukuman yang telah Engkau persiapkan bagi seluruh makhluk-Mu sejak awal niatnya untuk durhaka kepada-Mu.
15. Maka semua hukuman yang Engkau tunda darinya dan semua siksa yang Engkau lambatkan terhadapnya adalah bentuk kemurahan-Mu, dan kerelaan-Mu untuk menerima lebih sedikit dari yang semestinya.
16. Maka siapakah yang lebih mulia dari-Mu, wahai Tuhanku? Dan siapakah yang lebih celaka daripada orang yang binasa di hadapan-Mu? Tidak ada! Maha Diberkatilah Engkau, yang tidak dapat disifati kecuali dengan kebaikan. Engkau begitu mulia hingga tidak boleh ditakuti kecuali karena keadilan-Mu. Tidak ada yang khawatir akan kezaliman-Mu terhadap orang yang durhaka kepada-Mu, dan tidak ada yang takut bahwa Engkau akan melupakan pahala orang yang berusaha meraih ridha-Mu.
Maka limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, anugerahkanlah kepadaku harapanku, dan tambahkanlah petunjuk-Mu kepadaku agar dengannya aku mencapai keberhasilan dalam amal perbuatanku. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi karunia dan Maha Mulia.
Munajat Para Pensyukur Nikmat Imam Ali Zainal Abidin AsSajjad as.
Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Ya Allah, limpahkanlah sholawat atas Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad.
Limpahan anugerah-Mu, telah melemahkan daku untuk menghitung pujian atas-Mu.
Iringan ganjaran-Mu, telah menyibukkan daku untuk menyebut kemulia an-Mu.
Rangkaian bantuan-Mu, telah melalai kan daku untuk memperbanyak pujaan pada-Mu.
Inilah tempat orang yang mengakui limpahan nikmat tetapi membalasnya tanpa terimakasih.
Yang menyaksikan kelalaian dan kealpaan dirinya, padahal Engkau Mahakasih dan Mahasayang. Mahabaik dan Mahapemurah.
Yang takkan mengecewakan pencari-Nya, yang takkan menolakkan dari sisi-Nya pedamba-Nya.
Di halaman-Mu singgah kafilah pengharap, di serambi-Mu berhenti dambaan para pencari karunia.
Janganlah membalas harapan kami dengan kekecewaan dan keputus asaan,
janganlah menutup kami dengan jubah keprihatinan dan keraguan.
Karunia-Mu yang berupa cahaya iman menutupku dengan pakaian kebesaran.
Curahan anugrah-Mu, membungkusku dengan busana kemuliaan.
Pemberian-Mu merangkaikan padaku kalung nan tak terpecahkan, dan melingkari leherku dengan untaian yang tak teruraikan.
AnugrahMu tak terhingga sehingga kelu lidahku menyebutkannya.
Karunia-Mu tak berbilang sehingga lumpuh akalku memahaminya, apalah lagi menentukan luasnya
Bagaimana mungkin daku berhasil mensyukuri-Mu karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi.
Setiap kali daku dapat mengucapkan bagi-Mu pujian, saat itu juga daku terdorong mengucapkan bagi-Mu pujian.
Tolakkan dari kami kejelekan azab-Mu, berikan bagi kami di dunia dan akhirat, yang paling tinggi dan paling mulia lambat atau segera.
Bagi-Mu pujian atas keindahan ujian-Mu dan limpahan kenikmatan-Mu, (Bagi-Mu) pujian yang selaras dengan ridho-Mu yang sepadan dengan kebesaran kebajikan-Mu.
Wahai Yang Maha Agung.
Wahai Yang Maha Pemurah.
Dengan rahmat-Mu,
Wahai Yang Paling Pengasih dari segala yang mengasihi,
Ya, Arhamar Rôhimîn.
Mohon Doa!!!!
Comments
Post a Comment